Aroma Kopi yang Hilang
by. Notiska
Senja di kota ini selalu sama. Lembayung oranye yang menembus jendela apartemen mereka, menyoroti partikel debu yang menari-nari di udara. Bagi Kirana, senja tak lagi terasa romantis. Ia terasa seperti penanda waktu, sebuah jam pasir raksasa yang menandakan akhir dari kesendiriannya hari itu, sekaligus awal dari keheningan yang lain.
Pintu depan berderit pelan. Baskara, suaminya, pulang.
“Assalamualaikum,” gumam Bas, suaranya parau oleh kelelahan. Ia melepaskan sepatu pantofelnya dengan gerakan mekanis, melonggarkan dasi seolah dasi itu mencekik napasnya seharian.
“Waalaikumsalam, Mas,” jawab Kirana dari dapur, tangannya masih sibuk mengaduk sup ayam. “Mandi dulu, gih. Aku siapkan makan malam.”
Tidak ada pelukan. Tidak ada kecupan di kening. Ritual itu sudah lama terkikis oleh erosi waktu dan kesibukan. Baskara hanya mengangguk, berjalan gontai menuju kamar mandi, dan suara pancuran air pun menjadi musik latar malam mereka.
Delapan tahun pernikahan. Dulu, delapan tahun terdengar seperti sebuah keabadian yang indah. Kini, rasanya seperti delapan abad keheningan yang terakumulasi. Mereka tidak bertengkar hebat. Tidak ada orang ketiga. Masalah mereka jauh lebih subtil dan mematikan: mereka menjadi dua orang asing yang kebetulan berbagi atap, tagihan, dan seorang putri cantik berusia enam tahun, Mentari, yang sudah tertidur pulas di kamarnya.
Makan malam berlangsung dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Kirana ingin sekali bertanya, “Bagaimana harimu, Mas?” Tapi ia sudah tahu jawabannya. Sibuk, melelahkan, penuh tekanan. Baskara ingin sekali bercerita tentang klien yang menyebalkan atau proyek baru yang membuatnya pusing. Tapi ia terlalu lelah untuk merangkai kata. Jadi, mereka hanya makan, terpisah oleh jurang tak terlihat di atas meja makan mahoni mereka.
“Supnya enak,” kata Bas akhirnya, memecah kesunyian.
Kirana tersenyum tipis. “Syukurlah.”
Dan keheningan kembali mengambil alih.
Dulu, pagi mereka selalu diawali dengan aroma kopi. Kirana akan bangun lebih dulu, menyeduh kopi hitam kesukaan Baskara. Aromanya yang pekat akan membangunkan Bas, dan mereka akan duduk di balkon kecil, menyesap kopi sambil memandang fajar, membicarakan mimpi-mimpi mereka. Mimpi tentang rumah dengan halaman, tentang liburan ke Bromo, tentang melihat Mentari tumbuh besar.
Kini, alarm ponsel yang memekakkan telinga menggantikan aroma kopi. Mereka bangun dalam ketergesa-gesaan. Baskara langsung sibuk dengan laptopnya bahkan sebelum sarapan, sementara Kirana berjibaku menyiapkan Mentari untuk sekolah dan sarapan seadanya. Ritual kopi pagi mereka telah hilang, entah sejak kapan. Mungkin bersamaan dengan hilangnya percakapan-percakapan hangat di antara mereka.
Puncak kegelisahan Kirana datang seminggu sebelum ulang tahun pernikahan mereka yang kesembilan. Malam itu, hujan deras mengguyur kota. Kirana duduk di sofa, memeluk lututnya, menatap kosong ke arah jendela yang basah. Baskara duduk di meja kerja di sudut ruangan, punggungnya menghadap Kirana, jemarinya menari tanpa henti di atas keyboard laptop. Cahaya monitor menjadi satu-satunya penerangan di wajahnya yang tegang.
“Mas,” panggil Kirana pelan.
“Hmm?” sahut Bas tanpa menoleh.
“Minggu depan… ulang tahun pernikahan kita, lho.”
Jari-jemari Baskara berhenti sejenak. Hanya sejenak. Lalu kembali mengetik. “Oh, iya. Aku ingat.”
Hati Kirana mencelos. Ingat? Hanya itu?
“Kita… tidak mau merayakannya? Mungkin makan malam di luar? Atau sekadar pergi berdua, seperti dulu?” Suara Kirana bergetar menahan harapan.
Baskara menghela napas panjang. Ia memutar kursinya, akhirnya menatap Kirana. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya yang baru 35 tahun. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. “Kina, kamu lihat sendiri kan aku sedang sibuk sekali. Proyek akhir tahun, kejar target. Mungkin lain kali saja, ya? Kita rayakan nanti kalau semuanya sudah lebih longgar.”
“Lain kali?” ulang Kirana, suaranya meninggi. “Selalu ada ‘lain kali’, Mas. Tahun lalu juga begitu. Tahun lalunya lagi juga. ‘Lain kali’ itu kapan? Saat kita sudah sama-sama lupa cara tersenyum satu sama lain?”
Baskara memijat pelipisnya. “Jangan mulai, Kina. Aku lelah.”
“Aku juga lelah, Mas! Aku lelah merasa sendirian di rumah ini! Aku lelah berbicara dengan dinding! Kamu pikir hanya kamu yang bekerja? Aku merawat Mentari, mengurus rumah ini, memastikan duniamu tetap berjalan saat kamu sibuk membangun duniamu sendiri di luar sana!” Air mata yang ditahannya seharian, berminggu-minggu, akhirnya tumpah.
“Aku melakukan semua ini untuk siapa? Untuk kamu dan Mentari!” balas Baskara, suaranya ikut meninggi, frustrasi. “Rumah ini, mobil, sekolah Mentari yang terbaik, semua itu tidak turun dari langit!”
“Aku tidak pernah minta semua itu, Mas! Aku hanya minta suamiku kembali! Aku rindu Baskara yang dulu, yang membuatkanku teh jahe saat aku masuk angin. Aku rindu Baskara yang memelukku dari belakang saat aku memasak. Aku rindu aroma kopi di pagi hari! Kapan terakhir kali kita bicara, Mas? Benar-benar bicara, bukan hanya tentang tagihan atau jadwal sekolah Mentari?”
Pertengkaran itu menjadi bola salju. Menggelinding, semakin besar, menyeret semua kekecewaan, semua rindu yang tak terucap, semua kelelahan yang terpendam. Mereka saling menyakiti dengan kata-kata yang tak pernah mereka bayangkan akan terucap. Hingga akhirnya, Baskara membanting laptopnya hingga tertutup dan berteriak.
“Mungkin kamu benar! Mungkin kita memang sudah tidak cocok lagi!”
Kalimat itu menggantung di udara, dingin dan tajam seperti pecahan kaca. Keheningan yang menyusul setelahnya jauh lebih mengerikan daripada teriakan manapun. Baskara tertegun, seolah tak percaya dengan kata-katanya sendiri. Kirana menatapnya dengan mata terbelalak, napasnya tercekat. Hatinya hancur berkeping-keping.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kirana bangkit, berjalan masuk ke kamar, dan mengunci pintu. Baskara hanya bisa terpaku di kursinya, mendengar isak tangis Kirana yang tertahan dari balik pintu. Hujan di luar seolah ikut menangisi rumah tangga mereka yang berada di ambang kehancuran.
Tiga hari berlalu dalam perang dingin yang membekukan. Mereka hanya berkomunikasi seperlunya demi Mentari. Baskara tidur di sofa. Setiap malam, ia menatap pintu kamar yang tertutup itu, merasakan penyesalan yang begitu dalam, namun egonya terlalu tinggi untuk mengetuk.
Tepat di hari ulang tahun pernikahan mereka, Baskara terbangun di sofa dengan tubuh pegal. Apartemen terasa kosong. Kirana dan Mentari tidak ada. Di atas meja kopi, ada secangkir kopi hitam yang sudah dingin dan sebuah amplop.
Jantung Baskara berdebar kencang. Ia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya bukan surat cerai, melainkan sebuah kunci dan selembar kertas.
“Di laci meja kerjamu. Laci paling bawah yang selalu kamu bilang jangan dibuka.”
Baskara bergegas ke meja kerjanya. Laci itu selalu terkunci. Ia tak pernah tahu apa isinya. Dengan kunci dari Kirana, ia membukanya.
Di dalamnya, ada sebuah kotak kayu tua. Kotak harta karun mereka. Baskara membukanya, dan aroma kamper yang samar menyambutnya. Di dalamnya, ada tumpukan foto-foto lama, tiket bioskop pertama mereka, bunga edelweis kering dari pendakian pertama mereka, dan sebuah kaset tape lama.
Ia mengambil satu foto. Foto pernikahan mereka. Kirana tersenyum begitu lebar, matanya berbinar penuh cinta dan harapan. Ia melihat dirinya sendiri di foto itu, seorang pemuda kurus dengan senyum canggung yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka tampak begitu muda, begitu penuh mimpi.
Satu per satu, ia melihat foto-foto itu. Foto kelahiran Mentari, foto liburan pertama mereka ke pantai, foto-foto konyol yang mereka ambil di rumah. Setiap foto adalah pengingat akan cinta yang pernah begitu meluap-luap. Cinta yang ia kubur di bawah tumpukan pekerjaan dan ambisi.
Ia tersadar. Ia sibuk membangun istana, tapi ia lupa merawat ratu di dalamnya. Ia sibuk mengejar masa depan, tapi ia mengorbankan masa kini.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama “Kirana” tertera di layar.
“Halo?” sapanya dengan suara serak.
“Mas di mana?” suara Kirana terdengar tenang, namun rapuh.
“Di… di rumah.”
“Bisa tolong ke alamat yang aku kirimkan?”
Tak lama, sebuah pesan lokasi masuk. Itu adalah alamat kedai kopi kecil di pinggir kota, tempat kencan pertama mereka sembilan tahun yang lalu.
Dengan hati yang campur aduk antara takut dan berharap, Baskara menyambar kunci mobilnya. Ia mengemudi seperti orang kesetanan, tak peduli pada klakson mobil lain. Yang ada di pikirannya hanyalah Kirana.
Ia tiba di kedai kopi itu. Tempatnya masih sama, dengan aroma biji kopi sangrai yang khas. Di pojok dekat jendela, Kirana duduk sendirian, menatap ke luar. Secangkir latte dan secangkir kopi hitam tersaji di meja mereka, mengepulkan uap hangat.
Baskara berjalan mendekat, kakinya terasa berat.
Kirana menoleh saat ia tiba di meja. Matanya sedikit bengkak, namun ada seberkas cahaya di sana.
“Duduk, Mas,” katanya lembut.
Baskara duduk di hadapannya. Ia menatap kopi hitam di depannya, lalu menatap Kirana.
“Kopi ini… untukku?”
Kirana mengangguk. “Aku tidak tahu apakah rasanya masih sama seperti yang biasa aku buat dulu. Tapi aku mencoba mengingatnya.”
Baskara meraih cangkir itu. Ia menyesapnya perlahan. Rasanya tidak persis sama, tapi aroma dan kehangatannya… itu adalah aroma rumah. Aroma cinta mereka yang hilang.
“Kina… maafkan aku,” bisik Baskara, suaranya pecah. “Aku… aku tersesat. Aku lupa apa yang paling penting. Aku minta maaf sudah menyakitimu.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Kirana. “Aku juga minta maaf, Mas. Aku seharusnya lebih memahami tekananmu. Aku hanya… aku hanya sangat merindukanmu.”
Baskara mengulurkan tangannya melintasi meja. Kirana menyambutnya. Genggaman mereka erat, menyalurkan semua rindu, penyesalan, dan janji yang tak terucap.
“Aku tidak butuh istana, Mas,” isak Kirana. “Aku hanya butuh kamu. Aku butuh teman bicaraku kembali. Aku butuh aroma kopi di pagi hari.”
“Kamu akan mendapatkannya,” janji Baskara, matanya berkaca-kaca. “Aku janji. Mulai besok, dan setiap pagi setelahnya. Aku akan membangunkanmu dengan aroma kopi. Kita akan membangun kembali semuanya, dari awal. Aku, kamu, dan Mentari.”
Di tengah aroma kopi yang mengepul, di kedai kecil yang menjadi saksi awal cinta mereka, mereka menemukan jalan pulang. Bukan jalan pulang ke apartemen mereka, tetapi jalan pulang ke hati satu sama lain. Pernikahan mereka tidak sempurna, dan mungkin tidak akan pernah. Tapi hari itu, mereka memilih untuk berjuang. Mereka memilih untuk saling mencintai, sekali lagi. Dan itu, lebih dari cukup.