Terungkap! Hukum Berzina dengan Bantal dalam Islam, Benarkah Haram Mutlak?

Halo Jaliners! Pernahkah terpikir atau bahkan mendengar istilah “berzina dengan bantal”? Pertanyaan seputar hukum berzina dengan bantal memang terkadang muncul di benak sebagian orang, terutama di era digital di mana informasi mudah diakses namun seringkali simpang siur.

Kekhawatiran akan terjerumus pada dosa besar seperti zina, ditambah rasa penasaran mengenai batasan-batasan syariat, membuat topik ini, meskipun sensitif, perlu mendapatkan penjelasan yang jernih berdasarkan kacamata Islam.

Jangan khawatir, Jaliners. Artikel ini hadir untuk menjawab langsung keresahan dan pertanyaan Anda mengenai hukum berzina dengan bantal dalam Islam. Kita akan kupas tuntas makna sebenarnya di balik istilah tersebut, bagaimana pandangan para ulama, serta langkah-langkah preventif yang dianjurkan agama.

Mari kita simak bersama penjelasan lengkapnya agar tidak ada lagi keraguan dan kita bisa menjalani hidup sesuai tuntunan syariat.

Memahami Istilah Zina dan Perbedaannya dengan Istimna’

Sebelum melangkah lebih jauh membahas hukum berzina dengan bantal, penting bagi kita, Jaliners, untuk memahami terlebih dahulu definisi “zina” yang sesungguhnya dalam terminologi syariat Islam. Zina secara spesifik merujuk pada hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah, yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan.

Perbuatan ini termasuk dalam kategori dosa besar (kabair) dan memiliki konsekuensi hukum (hudud) yang jelas di dunia serta ancaman siksa di akhirat jika tidak bertaubat. Definisi ini sangat ketat dan melibatkan persetubuhan antarmanusia yang tidak terikat pernikahan.

Nah, istilah “berzina dengan bantal” sebenarnya adalah ungkapan kiasan atau bahasa awam untuk merujuk pada tindakan istimna’ atau onani/masturbasi yang dilakukan dengan menggunakan bantuan objek, dalam hal ini bantal. Secara Fiqih (hukum Islam), istimna’ adalah perbuatan mengeluarkan air mani (sperma) secara sengaja tanpa melalui hubungan seksual (jima’), baik menggunakan tangan sendiri maupun dengan bantuan benda lain.

Jadi, secara teknis, menggunakan bantal untuk kepuasan syahwat tidak termasuk dalam kategori zina hakiki sebagaimana didefinisikan syariat, melainkan masuk dalam pembahasan hukum istimna’. Memahami perbedaan ini krusial agar kita tidak salah kaprah dalam menilai hukumnya.

Hukum Istimna’ (Termasuk Menggunakan Bantal) dalam Pandangan Ulama

Pembahasan mengenai hukum istimna’ (yang mencakup penggunaan alat bantu seperti bantal) dalam Islam ternyata tidak tunggal, Jaliners. Para ulama memiliki perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai status hukum perbuatan ini. Perbedaan ini umumnya bersumber dari interpretasi dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits serta pertimbangan maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan).

Secara umum, mayoritas ulama dari berbagai mazhab cenderung berpendapat bahwa hukum asal istimna’ adalah haram atau setidaknya makruh (dibenci). Argumen utama yang sering dijadikan sandaran adalah firman Allah dalam Surat Al-Mu’minun ayat 5-7, yang artinya: “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” Ayat ini dipahami oleh banyak ulama bahwa menyalurkan syahwat selain kepada pasangan yang sah (istri atau budak pada masanya) adalah perbuatan melampaui batas.  

Berikut adalah rincian beberapa pandangan ulama mengenai hukum istimna’, termasuk jika menggunakan bantal:

1. Pandangan yang Mengharamkan Secara Mutlak

Pandangan ini dipegang oleh sebagian besar ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta sebagian ulama mazhab lain. Mereka berpendapat bahwa istimna’ dalam bentuk apapun, baik dengan tangan sendiri maupun menggunakan alat bantu seperti bantal, hukumnya adalah haram secara mutlak.

Dalil utama yang digunakan adalah interpretasi Surat Al-Mu’minun ayat 5-7 tadi, di mana “mencari yang di balik itu” (selain pasangan sah) mencakup segala bentuk pemuasan syahwat di luar jalur pernikahan, termasuk istimna’.

Alasan lain yang menguatkan pandangan ini adalah bahwa perbuatan tersebut dianggap tidak sesuai dengan fitrah, dapat menjerumuskan pelakunya pada perbuatan keji lainnya, dan berpotensi menimbulkan dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis.

Mereka memandang bahwa syariat telah menyediakan jalur yang halal dan baik untuk menyalurkan syahwat, yaitu pernikahan. Mencari jalan lain dianggap sebagai bentuk ketidaktaatan dan melampaui batas yang ditetapkan Allah.

2. Pandangan yang Memakruhkan (Dibenci)

Sebagian ulama lain, terutama dari kalangan mazhab Hanafi, berpendapat bahwa hukum istimna’ adalah makruh tanzih (dibenci, namun tidak sampai haram). Mereka tidak secara tegas mengharamkannya, namun sangat tidak menganjurkannya karena dianggap perbuatan yang kurang pantas, tidak sesuai dengan kemuliaan seorang Muslim, dan sebaiknya dihindari. Pandangan ini seringkali melihat istimna’ sebagai tindakan yang kurang etis atau tidak bermartabat.

Alasan di balik pandangan makruh ini adalah tidak adanya dalil Al-Qur’an atau Hadits yang secara sharih (jelas dan tegas) menyatakan keharamannya sebagaimana zina. Meskipun Surat Al-Mu’minun ayat 5-7 sering dikutip, interpretasinya masih terbuka.

Oleh karena itu, mereka menempatkannya pada derajat makruh, artinya lebih baik ditinggalkan namun tidak sampai berdosa besar jika terpaksa dilakukan sesekali dalam kondisi tertentu (meski tetap tidak dianjurkan).

3. Pandangan yang Membolehkan dalam Kondisi Darurat

Pandangan ini sering dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) dan beberapa ulama lainnya, meskipun dengan persyaratan yang sangat ketat. Mereka berpendapat bahwa istimna’ bisa dibolehkan dalam kondisi darurat, yaitu ketika seseorang sangat terdesak oleh syahwatnya dan khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan zina yang jelas keharamannya, sementara ia belum mampu menikah. Ini didasarkan pada kaidah fiqih “memilih mudarat yang lebih ringan” (irtikab akhaffad dhararain).

Namun, penting dicatat, Jaliners, bahwa kebolehan ini bersifat kondisional dan sangat terbatas. Syaratnya antara lain: benar-benar ada kekhawatiran kuat akan jatuh pada zina, tidak ada kemampuan untuk menikah dalam waktu dekat, dan syahwat sudah mencapai tingkat yang sangat mengganggu. Ini bukanlah lampu hijau untuk melakukannya secara bebas, melainkan sebuah solusi darurat dalam situasi yang sangat spesifik untuk menghindari dosa yang jauh lebih besar.

Apakah Menggunakan Bantal Mempengaruhi Hukumnya?

Sekarang, kembali ke pertanyaan inti: apakah penggunaan bantal secara spesifik mengubah hukum istimna’ itu sendiri? Mayoritas ulama berpendapat bahwa alat yang digunakan, entah itu tangan, bantal, atau benda lainnya, pada dasarnya tidak mengubah substansi hukum dari perbuatan istimna’ itu sendiri. Fokus hukum tetap pada tindakan mengeluarkan mani secara sengaja di luar hubungan yang sah.

Jadi, jika seorang ulama berpendapat istimna’ itu haram, maka haram pula melakukannya dengan bantal. Jika berpendapat makruh, maka makruh pula melakukannya dengan bantal. Jika berpendapat boleh dalam kondisi darurat, maka kebolehan darurat itu juga berlaku jika menggunakan bantal dalam kondisi yang sama.

Intinya, bantal hanyalah alat bantu; hukumnya mengikuti hukum dasar perbuatan istimna’ itu sendiri sesuai dengan pandangan fiqih yang dianut. Perdebatan utamanya bukan pada alatnya, melainkan pada tindakan istimna’ itu sendiri.

BACA JUGA: Jodoh Termasuk Qada atau Qadar? Ini Penjelasannya

Dampak Negatif Istimna’ dari Perspektif Agama dan Psikologis

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukumnya (haram, makruh, atau boleh darurat), Islam secara umum mendorong umatnya untuk menjaga kesucian diri dan menghindari perbuatan yang dapat membawa dampak negatif. Perbuatan istimna’, termasuk yang menggunakan alat bantu, seringkali dikaitkan dengan beberapa potensi dampak kurang baik, baik dari sisi spiritual maupun psikologis.

Secara spiritual, istimna’ dapat membuat pelakunya merasa bersalah, cemas, dan jauh dari Allah. Perasaan ini bisa mengganggu kekhusyukan ibadah, mengurangi semangat dalam melakukan kebaikan, dan bahkan dalam beberapa kasus, bisa menjadi pintu masuk kepada kemaksiatan yang lebih besar jika tidak segera dihentikan dan ditaubati.

Keterikatan pada kebiasaan ini juga dapat mengalihkan fokus dari tujuan hidup yang lebih mulia. Secara psikologis dan sosial, kebiasaan istimna’ berpotensi menimbulkan kecanduan, membentuk fantasi seksual yang tidak realistis, memengaruhi keharmonisan hubungan suami-istri (jika sudah menikah) karena kepuasan didapat dari cara lain, serta menimbulkan perasaan malu dan terisolasi.

Berikut beberapa potensi dampak negatif yang perlu diwaspadai:

  • Gangguan spiritual: Melemahkan iman, menimbulkan rasa bersalah, menjauhkan diri dari Allah.
  • Potensi kecanduan: Sulit mengontrol diri dan menghentikan kebiasaan tersebut.
  • Dampak pada hubungan: Bisa memengaruhi keintiman dan kepuasan dalam pernikahan.
  • Perasaan negatif: Menimbulkan rasa malu, cemas, rendah diri, atau terisolasi.
  • Penurunan produktivitas: Mengalihkan fokus dari ibadah, belajar, bekerja, atau aktivitas positif lainnya.
  • Fantasi tidak sehat: Membangun ekspektasi atau gambaran seksual yang tidak realistis.

Cara Mengatasi Hasrat dan Menghindari Perbuatan Tersebut

Islam tidak hanya memberikan batasan hukum, tetapi juga menawarkan solusi dan jalan keluar bagi umatnya yang berjuang melawan dorongan syahwat. Bagi Jaliners yang ingin menghindari perbuatan istimna’ atau kesulitan mengendalikan hasrat, Islam mengajarkan beberapa langkah konkret yang sangat dianjurkan.

Kunci utamanya adalah memperkuat hubungan dengan Allah SWT, memohon pertolongan-Nya, dan secara aktif melakukan upaya-upaya preventif. Mengendalikan syahwat adalah bagian dari jihad melawan hawa nafsu, yang pahalanya besar di sisi Allah. Berikut adalah beberapa cara yang bisa ditempuh:

1. Memperkuat Iman dan Taqwa

Ini adalah fondasi utama. Dengan meningkatkan kualitas ibadah seperti shalat tepat waktu, memperbanyak zikir (mengingat Allah), membaca dan merenungkan Al-Qur’an, serta memahami keagungan Allah dan pedihnya siksa-Nya, kesadaran spiritual akan meningkat. Semakin dekat hubungan kita dengan Allah, semakin kuat pula benteng kita untuk menolak godaan maksiat.

Meningkatkan ketaqwaan juga berarti berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Menyadari bahwa Allah selalu Maha Melihat akan menumbuhkan rasa malu untuk berbuat dosa, termasuk istimna’, meskipun sedang sendirian. Keimanan yang kokoh adalah perisai terbaik melawan bisikan syaitan dan hawa nafsu.

2. Menjaga Pandangan (Ghadul Bashar)

Mata adalah jendela hati. Apa yang kita lihat dapat memengaruhi apa yang kita pikirkan dan rasakan. Allah memerintahkan orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menundukkan pandangan mereka (Surat An-Nur: 30-31).

Ini berarti menghindari melihat hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat, baik itu lawan jenis secara langsung, gambar, maupun tayangan yang tidak pantas di media sosial, internet, atau televisi.

Menjaga pandangan adalah langkah preventif yang sangat efektif. Dengan tidak membiarkan mata liar melihat hal-hal yang haram atau merangsang, kita memutus salah satu pemicu utama munculnya hasrat seksual yang tidak terkendali. Ini membutuhkan kesadaran dan usaha yang terus-menerus, terutama di zaman sekarang di mana godaan visual ada di mana-mana.

3. Berpuasa

Puasa, baik puasa wajib di bulan Ramadan maupun puasa sunnah (Senin-Kamis, puasa Daud, dll.), adalah salah satu metode yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk meredam gejolak syahwat, terutama bagi para pemuda yang belum mampu menikah.

Beliau bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai perisai).” (HR. Bukhari & Muslim).

Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih kesabaran, pengendalian diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Secara fisik, puasa dapat mengurangi energi tubuh yang mungkin berlebih dan memengaruhi dorongan seksual. Secara spiritual, puasa meningkatkan ketaqwaan dan kesadaran akan pengawasan Allah.

4. Menyibukkan Diri dengan Hal Positif

Pikiran dan waktu luang yang tidak terisi dengan kegiatan bermanfaat seringkali menjadi celah bagi masuknya godaan syaitan dan pikiran-pikiran negatif. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyibukkan diri dengan aktivitas yang positif dan produktif. Fokuskan energi pada belajar, bekerja, berolahraga, mengembangkan hobi yang bermanfaat, aktif dalam kegiatan sosial atau dakwah, dan membantu orang lain.

Ketika pikiran dan fisik disibukkan dengan hal-hal yang baik, ruang untuk memikirkan atau melakukan hal-hal negatif seperti istimna’ akan semakin sempit. Carilah kegiatan yang tidak hanya mengisi waktu, tetapi juga memberikan manfaat bagi diri sendiri, agama, dan masyarakat.

5. Menikah Jika Mampu

Solusi ideal dan paling utama yang ditawarkan Islam untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara halal dan berkah adalah melalui pernikahan. Menikah tidak hanya memenuhi kebutuhan seksual, tetapi juga mendatangkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah), serta merupakan bagian dari penyempurnaan agama.

Bagi Jaliners yang sudah memiliki kemampuan, baik secara fisik, mental, maupun finansial, segeralah berusaha untuk menikah. Jangan menunda-nunda tanpa alasan syar’i. Pernikahan adalah benteng terbaik untuk menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang terkait syahwat.

6. Mencari Lingkungan yang Baik

Lingkungan pergaulan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku seseorang. Berteman dengan orang-orang shalih yang selalu mengingatkan kepada kebaikan dan ketaatan akan membantu kita untuk tetap istiqamah di jalan yang benar. Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang yang gemar bermaksiat atau meremehkan dosa dapat menyeret kita ke dalam jurang yang sama.

Pilihlah teman-teman yang baik agamanya dan akhlaknya. Ikuti kajian ilmu, bergabung dengan komunitas positif, dan hindari tempat-tempat atau perkumpulan yang dapat memicu timbulnya syahwat atau mendorong kepada perbuatan dosa. Lingkungan yang kondusif akan sangat mendukung upaya kita dalam menjaga diri.

BACA JUGA: Seksual Gaya Hubungan Suami Istri yang Dilarang dalam Islam


Jadi, Jaliners, kesimpulannya adalah istilah “berzina dengan bantal” secara fiqih merujuk pada perbuatan istimna’ (onani/masturbasi) menggunakan alat bantu. Hukum istimna’ itu sendiri menjadi titik perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang memakruhkan, dan ada pula yang membolehkan dalam kondisi darurat yang sangat spesifik untuk menghindari zina.

Penggunaan bantal atau alat lainnya tidak mengubah hukum dasar dari perbuatan istimna’ itu sendiri. Terlepas dari perbedaan hukum tersebut, Islam sangat menganjurkan untuk menjaga kesucian diri, menghindari perbuatan tersebut karena potensi dampak negatifnya, dan menempuh jalan-jalan yang disyariatkan seperti menikah, berpuasa, menjaga pandangan, serta menyibukkan diri dengan hal positif sembari terus memperkuat iman dan taqwa kepada Allah SWT.

Notiska
Notiska

Notiska bukan sekedar pakar pernikahan, juga pemandu yang akan menemani Jaliners dalam setiap langkah perjalanan menuju pernikahan impian. Dengan pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan luas di berbagai aspek pernikahan, Notiska siap membantu kamu mewujudkan momen spesial ini dengan sempurna.

Articles: 83